Penggunaan Data Magnet untuk Penentuan Curie Point Depth dan Manfaatnya dalam Eksplorasi Hidrogen Alami

Saat ini Indonesia dan dunia masih sangat tergantung pada energi fosil. Energi fosil berkategori tidak terbarukan dan menjadi aktor utama penyebab pemanasan global. Pemerintah Indonesia menyadari hal tersebut dan berusaha mencari sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, salah satu opsinya adalah hidrogen alami. Energi hidrogen dapat diproduksi dari berbagai sumber yaitu air, biomasa, gas alam, panas bumi dan listrik, serta proses serpentinisasi yang muncul secara alamiah pada batuan di bumi yang kenal sebagai hidrogen alami atau white hydrogen.

Eksplorasi hidrogen alami terkait erat dengan profil panas bawah permukaan karena beberapa alasan. Pertama, reaksi pembentukan hidrogen alami memerlukan kondisi suhu tertentu yang terjadi pada batuan ultramafik. Kedua, karakteristik reservoir bawah permukaan tentu dipengaruhi oleh gradien panas sehingga menjadi penentu kemampuannya dalam menyimpan hidrogen. Ketiga, terdapat beberapa fakta bahwa daerah dengan energi geothermal juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan hidrogen yaitu hidrogen hijau (green hydrogen), seperti di Reykjanes & Hengli Geothermal Fields Finlandia, di Olympic Dam Region Australia, dan Murmansk Region Russia. 

Curie Point Depth (CPD) merupakan salah satu metode pemetaan sebaran panas bawah permukaan menggunakan data magnet. Metoda ini dapat membantu eksplorasi hidrogen alami di Indonesia. Bumi memiliki sumber panas dari inti dan mantel yang dapat naik ke permukaan. Media naiknya panas ke permukaan dapat berasal dari rekahan di palung, punggungan, atau penipisan kerak. Naiknya panas ke permukaan ini penting untuk kegiatan eksplorasi karena dapat mempengaruhi berbagai aspek seperti adanya endapan mineral, hidrokarbon, geothermal, hingga hidrogen alami. 

Pada pembentukan hidrokarbon, panas bawah permukaan berperan membantu pematangan hidrokarbon dan menentukan jendela kematangan (window maturity). Pada eksplorasi hidrogen alami, panas ini menjadi faktor proses serpentinisasi dari batuan ultramafik sehingga melepaskan gas hidrogen, diperkirakan terjadi pada suhu 200-400 °C. 

Konsep estimasi CPD yaitu mencari titik dimana batuan yang mengandung mineral magnetik menjadi hilang sifat kemagnetannya karena adanya panas pada kedalaman tertentu. Temperatur ketika hilangnya sifat magnet disebut Temperatur Curie yaitu 580°C. Data magnet merupakan data yang paling banyak digunakan untuk estimasi CPD, baik satelit, ground atau airborne. CPD dihitung berdasarkan spectral analysis data magnet seperti dijelaskan oleh Spector dan Grant (1970). Kemudian, gradien geothermal dan aliran panas (heat flow) dapat ditentukan dengan formula (1) dan (2) berikut:
grad T=580°C / Z_b ……………. (1)
q=k(580°C / Z_b) ………………. (2)
k adalah koefisien konduktifitas thermal sebesar 2.5 Wm-1 K-1 untuk daerah kerak bagian atas (Springer, 1999).
Badan Geologi aktif melakukan studi estimasi distribusi panas dibawah permukaan Indonesia, salah satunya studi CPD di Pulau Seram dengan menggunakan data airborne magnet (Mutiah dkk., 2024). Penyelidikan tersebut membuktikan bahwa bagian barat Pulau Seram dan sekitarnya terdapat banyak sumber geothermal. Titik panas terbesar berada di Pulau Ambon yang juga dibuktikan dengan keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di sana.

Beberapa studi menunjukkan bahwa hidrogen alami seringkali terbentuk pada profil panas rendah-sedang. Kondisi ini memungkinan terjadinya proses serpentinisasi tanpa menyebabkan menguapnya gas hidrogen secara berlebihan. Keberadaan batuan ultramafik adalah salah satu unsur utama adanya potensi hidrogen alami. Negara yang memiliki potensi hidrogen alami yaitu seperti di Spanyol, Oman, Turki, Filipina, Kaledonia Baru, dan negara di Kawasan Balkan. Jika dikaitkan dengan sebaran panas (Davies, 2013), daerah tersebut berprofil panas rendah hingga sedang, sekitar 3-80 mW/m2. 

Di Indonesia, sebaran ultramafik Indonesia berada di Sulawesi Tengah-Timur, Meratus, Halmahera bagian timur, Pulau Gag (Raja Ampat), dan Papua bagian tengah. Ofiolit di Ampana (Sulawesi Tengah) terbukti berasosiasi dengan potensi hidrogen alami (Sanjaya dkk., 2024). Penyelidikan Davies (2013) mengungkap bahwa profil panas di Ampana berada pada angka cukup rendah yaitu sekitar 52-65 mW/m2. Daerah singkapan ultramafik lain dengan nilai panas cukup rendah terdeteksi di Malili, Morowali, dan Luwu. Sedangkan ofiolit di Meratus, Pulau Gag, hingga Papua terlihat memiliki nilai menengah (Gambar 1). Menarik untuk ditindaklanjuti mengenai potensi hidrogen pada wilayah-wilayah tersebut. Selanjutnya, eksplorasi hidrogen alami di Indonesia perlu dikaji lebih lanjut dengan beberapa metode lain seperti geofisika darat hingga pemboran.

Referensi 

Davies, J. H. (2013). Global map of solid Earth surface heat flow. Geochemistry, Geophysics, Geosystems, 14(10), 4608-4622.

Mutiah, S., Wawan Gunawan, A. K., & Suteja, A. (2024). Estimasi Potensi Panas Bumi Daerah Seram Bagian Barat dan Pulau-Pulau Sekitar, Provinsi Maluku Berdasarkan Data Gaya Berat dan Aeromagnetik. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 25(2), 117-133.

Sanjaya, I., Fatturakhman, M. L., Arifin, A. S., Maryanto, S., & Kim, H. S. (2024). Evaluating the Natural Hydrogen System in Ampana Basin, Central Sulawesi; An Implication for Natural Hydrogen Exploration in Indonesia. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 25(3), 135-149.

Spector, A., & Grant, F. S. (1970). Statistical models for interpreting aeromagnetic data. Geophysics, 35(2), 293-302

Springer, M. (1999). Interpretation of heat-flow density in the Central Andes. Tectonophysics, 306(3-4), 377-395.

Penulis            : Siti Muti’ah

Penyunting      : Tim Scientific Board – Pusat Survei Geologi


Posted

in

by

Tags: