Peta geologi merupakan representasi informasi dasar kegeologian suatu wilayah. Peta geologi berperan penting dalam pembangunan nasional, perencanaan tata ruang, mitigasi bencana geologi, dan konservasi geologi. Salah satu disiplin ilmu yang berkontribusi dalam penyusunannya adalah paleontologi, yang menggabungkan prinsip geologi dan biologi untuk merekonstruksi sejarah kehidupan di Bumi.
Paleontologi berkaitan erat dengan analisis fosil sebagai objek utama studinya. Beragam jenis fosil, seperti foraminifera, nannofosil, polen, dan moluska, digunakan untuk menentukan umur relatif batuan. Informasi ini menjadi dasar dalam penyusunan urutan stratigrafi yang mendukung pembuatan peta geologi yang akurat. Selain itu, hasil analisis fosil dapat memberikan wawasan mengenai kondisi lingkungan pengendapan, seperti energi pengendapan dan perubahan lingkungan. Informasi ini membantu identifikasi proses geologi yang telah terjadi, sehingga peta geologi yang dihasilkan menjadi lebih komprehensif dan informatif.
Dalam eksplorasi sumber daya alam, khususnya hidrokarbon, data paleontologi berperan penting dalam mengidentifikasi cekungan potensial. Studi terhadap fosil mikro, seperti foraminifera, nannofosil, dan dinoflagellata, dapat menentukan umur, kondisi lingkungan, serta tingkat kematangan batuan sumber. Data ini mendukung analisis fasies sedimen, sistem petroleum, dan potensi reservoir hidrokarbon yang bernilai ekonomis.
Paleontologi juga memiliki nilai ilmiah dan edukatif dalam pengembangan wisata berbasis geologi. Informasi paleontologi dapat digunakan untuk melengkapi data geologi di suatu wilayah dan mendukung penetapan situs warisan geologi (geoheritage). Ragam jenis fosil berkontribusi pada 28 situs warisan geologi bernilai ilmiah lokal hingga terkemuka di Kabupaten Merangin, Tulungagung dan Gorontalo yang telah ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (Dewi dkk., 2023).
Studi paleontologi yang diadakan oleh Pusat Survei Geologi – Badan Geologi (PSG-BG) – Kementerian ESDM berhasil mengungkap beberapa fenomena kebumian. Pola perubahan iklim purba pada zaman Pliosen dapat dijelaskan dengan proksi foraminifera melalui kegiatan pemetaan di daerah Yogyakarta (Novita dkk., 2022). Yulfiah dan Lestari (2022) menggunakan analisis paleontologi untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapan berdasarkan foraminifera planktonik dan bentonik di Senganten, Jawa Timur. Selain itu, penemuan Tridacna gigas (sejenis kerang raksasa) menunjukkan bahwa Batugamping Formasi Tendehantu di Kalimantan Timur berumur Miosen Awal–Tengah dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Integrasi paleontologi dengan teknologi modern, seperti penginderaan jauh, dapat mempercepat dan meningkatkan efisiensi pemetaan geologi. Data fosil dapat digunakan sebagai panduan dalam menentukan penyebaran lapisan batuan secara regional, menjadikan proses pemetaan lebih sistematis dan terarah.
Secara keseluruhan, pemanfaatan paleontologi dalam pemetaan geologi memiliki peran krusial. Dengan memanfaatkan informasi dari fosil, para ahli dapat menghasilkan peta geologi yang lebih akurat dan informatif, sehingga dapat mendukung pembangunan berkelanjutan yang berbasis konservasi sumber daya alam.
Penulis : Sonia Rijani
Penyunting : Tim Scientific Board – Pusat Survei Geologi
Referensi
Dewi, K., Setiyabudi, E., Oktavitania, R., & Samodra, H. (2023). Tinjauan Kontribusi Fosil dalam Penetapan Warisan Geologi. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 24(4), 225-234.
Novita, D., Wirawan, D. R., Rijani, S., & Hermawan, U. (2022). Pola Perubahan Iklimpurba pada Umur Pliosen dengan Proksi Foraminifera: Studi Kasus Formasi Sentolo, Yogyakarta. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 23(3), 133-140.
Yulfiah & Lestari, N.M.P.D. (2022). Analisis Paleontologi dan Petrografi untuk Penentuan Lingkungan Pengendapan di Desa Senganten, Jawa Timur. Jurnal Inovasi Pertambangan dan Lingkungan, 2(1), 43–53.