Indonesia dianugrahi Tuhan dengan kekayaan yang melimpah, termasuk sumberdaya energi dan mineralnya. Beragam jenis tambang ditemukan di Bumi Pertiwi. Beberapa sumber daya yang menjadi penghasil devisa besar bagi Indonesia bahkan sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan adalah timah, nikel, emas, migas, dan batubara. Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai menjalankan eksploitasi mineral dengan mengambil alih Dinas Petambangan dari Jepang dan diganti nama menjadi “Poesat Djawatan Tambang dan Geologi” yang merupakan cikal bakal Badan Geologi Indonesia.
Kementerian ESDM mengumumkan bahwa target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Mineral dan Batubara tahun 2023 mencapai Rp. 173 triliun. Angka tersebut setara dengan 58% PNBP sektor ESDM atau 28,5% total PNBP pada tahun yang sama. Hal ini menegaskan peran penting sumberdaya mineral dalam menopang perekonomian nasional. Beberapa kebijakan telah diterapkan untuk terus menaikkan pemasukan negara dari bidang ini, contohnya adalah Program Hilirisasi Pertambangan melalui UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Rachmawati dkk., 2024).
Satu hal yang perlu dimaksimalkan oleh pengusaha pertambangan di Indonesia adalah companion metals. Istilah ini cukup dikenal di dunia pertambangan, yaitu logam-logam penyerta yang diperoleh ketika pemrosesan bijih utama. Campanion metals sejatinya telah berada dalam deposit metal utama sejak awal eksploitasi. Komposisi logam penyerta ini dapat meningkat atau justru terbuang tergantung pada proses pengolahan bijih utama.
Penelitian terdahulu telah mengupas mengenai macam-macam companion metals yang menyertai deposit bijih logam tertentu. McNulty dan Jowitt (2022) menyebutkan bahwa deposit bijih titanium (Ti) hampir pasti disertai oleh keberadaan logam Zr dan Hf, selain juga unsur-unsur tanah jarang pada skala yang lebih kecil. Eksploitasi bijih besi (Fe) sangat sering diikuti dengan konsentrasi empat unsur tanah jarang ringan (UTJ ringan) yaitu lantanum (La), serium (Ce), neodimium (Nd) dan praseodimium (Pr).
Paladium (Pd) dan kobalt (Co) kerap dijumpai ketika penambangan nikel. Platinum Group Metals (PGM) lainnya juga terkadang dijumpai ketika proses ekstraksi nikel. Pencarian logam selenium (Se) dan telurium (Te) dapat dimulai pada lokasi keterdapatan deposit tembaga (Cu) karena kedua logam tersebut adalah companion metals yang hampir pasti diperoleh pada tambang tembaga. Kelompok UTJ, wolfram (W), tantalum (Ta), bismut (Bi), dan indium (In) terkadang terdapat bersama dengan deposit timah.
Kementerian ESDM sebagai legulator kegiatan pertambangan di Indonesia berkewajiban memberikan arahan hingga membuat kebijakan terkait pemanfaatan companion metals. Sharing knowledge perlu dilaksanakan terutama untuk perusahaan tambang skala kecil agar sadar dan dapat memanfaatkan companion metals. Data-data geologi dasar, termasuk mengenai sebaran deposit logam di Indonesia tersedia di Badan Geologi. Pemanfaatan logam ikutan pada perusahaan tambang skala nasional-internasional perlu dikontrol.
Beberapa Perusahaan pertambangan di Indonesia telah menyadari pentingnya companion metals. Sebagai contoh, PT Timah Tbk. telah mulai mengekstrak monasit (salah satu mineral kaya UTJ) dari sisa pertambangan timah sejak lebih dari satu dekade lalu. Sangat disayangkan ketika companion metals terbuang sebagai limbah karena ketidaktahuan atau pemrosesan bijih yang kurang tepat. Optimalisasi companion metals akan menguntungkan bagi negara maupun perusahaan tambang karena menambah devisa maupun laba perusahaan.
Referensi
McNulty, B. A., & Jowitt, S. M. (2022). Exploration for Byproduct Critical Element Resources: Proxy Development Using a LA–ICP–MS Database. Frontiers in Earth Science, 10, 892941.
Rachmawati, A. R., Kusuma, A. P., & Manggala, F. P. (2024). Kewajiban Hukum Perusahan Tambang Dalam Penyedian Fasilitas Smelter Sebagai Upaya Mendukung Program Hilirisasi. INICIO LEGIS, 5(1), 65-75.
Penulis : Ronaldo Irzon
Penyunting : Tim Scientific Board – Pusat Survei Geologi